Empat Kumpulan Sajak karya WS Rendra (1961) -->

Advertisement

Banner Iklan Sariksa

Empat Kumpulan Sajak karya WS Rendra (1961)

8 Agu 2011

Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal.
Gelap dan bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa.
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada.
Subagio Sastrowardoyo pernah menulis, dalam bukunya Sosok Pribadi dalam Sajak, bahwa pemujaan tanpa kritik terhadap tokoh-tokoh sastra dan seni di Indonesia terus berlanjut hingga pada tokoh Rendra. Apapun yang dinyatakan Rendra, baik melalui (dalam) sajak maupun teater, dipandang sebagai sesuatu yang menakjubkan.
Hal ini mengakibatkan hilangnya kepekaan (orang (baca: pembaca) terhadap unsur-unsur “membuat sensasi belaka” dan munculnya “pencarian popularitas”, yang justru melemahkan sajak-sajaknya (Rendra) sendiri (Sastrowardoyo, 1980).
Kemudian, dalam buku yang sama, Subagio menganalisis pengaruh Federico Garcia Lorca pada Rendra, khususnya di kumpulan puisi Ballada Orang-orang Tercinta. Gaya bersajak Rendra, yang begitu memerhatikan gejala lahiriah, yang disajikan dalam puisi-puisinya, sangat berbeda dengan beberapa penyair pendahulu, misalnya, Chairil Anwar dan Sitor Situmorang, yang lebih banyak bergulat di pencarian batiniah.
Hal ini mungkin sekali terjadi karena Rendra juga merupakan figur panggung pertunjukan, yang kemudian menganggap puisi sebagai adegan dramatik yang sedang disajikan untuk penonton. Dalam sudut pandang yang lain, justru di sinilah letak peran Rendra dalam narasi sejarah kesusastraan Indonesia.
Rendra menghadirkan sajak-sajak “baru” yang menekankan gejala lahiriah untuk diamati, diserap, dicerna, dan dimuntahkan secara dramatik. Walaupun, menurut penelusuran Subagio dalam buku tersebut, sajak-sajak Rendra tidaklah sepenuhnya “baru” dan “orisinil”.
Dengan sangat ilmiah dan rinci, Subagio membuktikan betapa besar pengaruh Lorca pada kumpulan Ballada Orang-Orang Tercinta. Subagio mengambil cara ucap Rendra, metafora yang dipakai, pencitraan-pencitraan yang sering muncul, judul kumpulan sajak yang dipilih, hingga penyingkatan nama Willibrordus Surendra Broto menjadi WS Rendra (yang sangat ganjil dalam penyingkatan nama di dalam bahasa Jawa), untuk dianalisis faktor-faktor, tokoh, dan karya-karya yang mempengaruhi pembentukannya.
Subagio juga menyatakan bahwa kumpulan puisi Empat Kumpulan Sajak masih merupakan kelanjutan dari balada-balada di Ballada Orang-Orang Tercinta. Hal ini akan sangat kentara jika dilihat dari banyaknya cerita liris pendek, kesamaan banyak citra, dan cara ucap yang dipakai Rendra dalam dua kumpulan puisi tersebut.
Sajak-sajak Rendra dalam Empat Kumpulan Sajak memiliki tema besar: hubungan cinta lelaki dan perempuan. Tema ini sangat kentara dalam dua kumpulan sajak pertama yang berjudul Kakawin Kawin dan Malam Stanza. Sedangkan dalam dua kumpulan sajak yang lain, Nyanyian dari Jalanan dan, khususnya, Sajak-Sajak Dua Belas Perak, isi sajak sudah melebar ke tema sosial.
Kakawin Kawin berisi dua sub judul, yaitu Romansa (11 sajak) dan Ke Altar dan Sesudahnya (9 sajak). Dalam Kakawin Kawin, cerita dimulai dengan sebuah Surat Cinta kepada sang kekasih, dan dilanjutkan dengan beberapa serenada warna-warni yang memiliki nuansa rasa yang berbeda.
Citra yang ditampilkan dalam puisi-puisi ini bersifat naturalis. Pencitraan ini sangat khas dipakai oleh banyak penyair untuk memberikan kesan liris romantis. Contohnya saja, beberapa gerak fauna dipakai untuk mengambarkan hubungan dan perasaan; “Dua ekor belibis bercintaan dalam kolam”, “Engkau adalah putri duyung tergolek lemas mengejap-kejapkan matanya yang indah dalam jaringku”, “kupacu kudaku menujumu” (hal. 13-16).
Misalnya lagi, citra tumbuhan dan bulan muncul berulang kali; “alang-alang dan rumputan/bulan mabuk di atasnya”, “pohon jambu di halaman itu/berbuah dengan lebatnya”,” ..di balik semak itu/sedang bulan merah mabuk”, “tujuh pasang mata peri/terpejam di pohonan”, “sebuah pasangan/telah dikawinkan bulan”, “ketika bulan menjenguknya”, dan lain-lain (Hal. 17-22). Citra-citra ini, yang masih banyak lagi jika ditelusuri, tentu saja sangat mempengaruhi atmosfer yang ditangkap oleh pembaca. Salah satunya adalah munculnya kesan pedesaan yang sangat kental pada puisi-puisi Rendra dalam kumpulan sajak ini.
Kemudian, apakah perbedaan puisi-puisi cinta ini dengan yang lain? Seperti pernah dianalisis Subagio Sastrowardoyo, cara ucap Rendra dan penggunaan metafora-metafora yang dramatik dan ganjil-lah yang membuat puisinya menarik perhatian publik (Subagio, 1980).
Puisi-puisi Rendra didominasi kesan heroik dan penuh semangat, bahkan juga dalam hubungan percintaan. Hal lain yang cukup menarik adalah kujujuran dan ketulusan perasaan-perasaan cinta di beberapa puisinya, misalnya di Episode, Surat Kepada Bunda: Tentang Calon Menantunya, Kakawin Kawin, dan Ranjang Bulan Ranjang Pengantin.
Dalam sajak-sajak tersebut, atau yang memiliki kecenderungan seperti itu, tidak ada yang mencoba menipu dengan, misalnya, mengkontraskan teks dengan teks itu sendiri untuk mencipta kejutan. Alur dalam sebuah sajak sangat mudah ditebak, sedangkan secara umum dari keseluruhan teks sajak yang disatukan itu, nada-nada mengalir dengan irama yang pasti: sesudah menulis surat cinta, lelaki (hampir semua puisi tentang cinta dan hubungan pasangan ini diceritakan oleh lelaki) melamar perempuan idamannya, dan menikahlah pasangan itu di gereja yang diberkahi malaikat. Kemudian, pergilah mereka menikmati ranjang, bernyanyi, dan meraba masa depan bersama.
Sajak-sajak dalam rumpun Malam Stanza tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di Kakawin Kawin. Namun, secara keseluruhan, subjek-subjek dari tema cinta sudah melebar.
Kalau dalam Kakawin Kawin yang dibicarakan hanya hubungan kekasih, dalam rumpun bab yang berisi dua puluh sembilan sajak ini pembicaraan sudah meluas, misalnya pembicaraan topik hubungan ibu dengan anak (Batu Hitam, Lagu Ibu, Lagu Serdadu, Ibunda, dan Ia Telah Pergi) dan hubungan lelaki dengan dunia luar, yaitu, hubungan yang bukan hanya dengan kekasihnya saja (Lagu Sangsi, Lagu Angin, Malam Jahat, Rumpun Alang-alang, Mata Anjing, dan Remang-Remang).
Sajak tentang bunda juga dihadirkan secara khusus di sub bab Bunda di bawah rumpun Nyanyian Dari Jalanan. Sajak itu menggambarkan kerelaan dan kelapangan seorang bunda melepas putranya mengembara. Hati bunda digambarkan sebagai “tanah yang dibajak dan diinjak”, yang semakin lama semakin parah tetapi juga semakin subur. Hati bunda, lanjut sajak itu, merupakan “belantara yang rela terbuka”. Penggambaran ini sangat menakjubkan dan terlihat tidak klise. Betapa lapangnya hati yang serupa belantara yang rela terbuka, yang nantinya, tentu saja, akan ditanami berbagai tanaman baru yang entah akan berjenis apa. 
Sementara itu, sajak Lagu Sangsi, Lagu Angin, Malam Jahat, Rumpun Alang-alang, Mata Anjing, dan Remang-Remang secara umum bercerita tentang kebimbangan lelaki atas jalan hidupnya yang masih panjang, yang dibayangi warna-warni lampu dunia berupa naluri pengembaraan lelaki ataupun kehadiran wanita lain yang menyilaukan mata dan, seringkali, membelokkan jalan. Puisi yang dengan sangat jelas memberikan gambaran itu adalah Rumpun Alang-Alang. Berikut kutipannya:

Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal.
Gelap dan bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa.
Engkau tetap yang punya
tapi alang-alang tumbuh di dada.
Penggambaran sosok lelaki beserta motif-motif yang lebih luas juga dimunculkan dalam sub bab Lelaki, yang terdapat di rumpun kumpulan ketiga, Nyanyian dari Jalanan. Di sini, ruang gerak dan kegelisahan lelaki dilebarkan lagi.
Ada yang bercerita tentang perbuatan serong dengan pelacur, yang digambarkan secara apik melalui citra malam dengan “bulan biru” dan “birahi lelaki yang menggelincir.” Selanjutnya, dalam sajak yang lain, Lelaki Sendirian digambarkan sebagai orang yang “hati”nya berupa “hutan” yang sedang “dilanda topan.”
Selain itu, beberapa sajak lain berbicara tentang pengembaraan, kematian, bocah penjaja serabi yang “terpencil nyanyinya”, dan masa tua yang penuh semangat-juang untuk generasi muda bangsa dan yang begitu gembira menyambut saat penyatuannya dengan bumi.
Dengan porsi yang begitu besar untuk mengeksplorasi lelaki dari beberapa bentuk hidup dan mimpi-mimpinya, kumpulan sajak ini memberikan ruang pemahaman psikologis atas lelaki (setidaknya dalam kumpulan sajak ini saja) yang, jika ditelusuri lagi, akan sangat menarik pembahasannya.
Penggambaran hidup perempuan juga hadir dalam kumpulan sajak ini. Selain tersirat dalam beberapa penggambaran yang mengungkap lelaki dan segala kompleksitas pemikirannya, perempuan secara khusus dibicarakan di bawah sub bab Wanita. Ada tiga sajak dalam kumpulan ini.
Sajak pertama, Nyanyian Perempuan di Kali, berbicara tentang perempuan-perempuan yang sedang mencuci baju di Kali Solo, yang coklat airnya di pagi hari. Sajak ini berbicara melalui beberapa narator: “yang maha tahu,” “kali,” dan “perempuan.” Suasana khas pedesaan mendominasi sajak ini dengan citra-citra: “kerbau-kerbau”, “tikar pandan”, dan, tentu saja, adegan perempuan mencucikan baju “kakanda”-nya di sungai di pagi hari.
Perawan Tua adalah sajak kedua. Sesuai dengan judulnya, sajak ini bercerita tentang layunya perempuan yang kulitnya mengerut dan buah dadanya mulai kisut. Keadaan fisik seorang perempuan, dalam sajak ini, digambarkan begitu penting. Keindahan fisik yang memudar seiring umur menghadirkan rasa sepi yang memilukan bagi perempuan yang belum atau tidak memiliki pasangan. Puisi selanjutnya, Aminah, berbicara tentang seorang kembang desa yang tertipu rayuan lelaki kota. Impiannya hancur setelah dijebak dijadikan pelacur. Gadis malang ini digambarkan sedang berjalan di pematang menuju rumahnya di desa. Sambil membayangkan masa depan, ia sudah bulatkan tekat untuk tetap berjalan di kejatuhannya dan berniat akan bangkit.
Lelaki dan perempuan dalam beberapa kumpulan sajak ini, seperti yang sedikit dipaparkan di atas, digambarkan mempunyai dunia yang cenderung berbeda. Lelaki lebih memiliki hasrat berpetualang dan serong, sedangkan perempuan, selain sosok bunda yang selalu dipuji-puji, cenderung menunggu lelaki yang akan mencintai dan dicintainya. Keteguhan hati perempuan menjadi simbol kekuatannya, sedangkan bagi lelaki, pencarian hidup dengan pengembaraan menjadi ciri khas kelelakiannya.
Namun, keduanya sama-sama tak terhindarkan dari kesepian. Pembahasan lebih lanjut tentang hal ini tentunya akan sangat bermanfaat bagi pemahaman menyeluruh watak puisi-puisi Rendra, khususnya yang berhubungan dengan lelaki dan perempuan.
Puisi-puisi dalam Sajak-Sajak Dua Belas Perak, yang seluruhnya berjumlah dua puluh, mempunyai warna yang lebih beragam. Ada yang bercerita tentang Kenangan dan Kesepian ketika senjata baja yang “menikam diri dari belakang” mengingatkan sang narator pada “langit di desa”, “sawah”, dan “bambu”.
Beberapa sajak membicarakan orang-orang lanjut usia. Nenek yang Tersia Bersunyi Diri bercerita tentang seorang nenek yang merasa sepi karena ditinggalkan orang-orang dekatnya (entah anak-anaknya atau saudara-saudarinya). Begitu sunyinya hidup si nenek tua itu hingga sapaan seorang bocah mampu mengubah perasaan hati menjadi teduh dan berbunga! Seorang nenek yang menemui ajal diceritakan dalam Nenek Kebayan. Nenek yang sudah lupa pada kenangan masa lampau dan sudah jemu pada hari-hari depan begitu nelangsa karena “hidup yang tinggal diisi tidur dan bubur” dan “sudah itu sepi pada dada terbujur” tak juga kunjung usai. Namun, beruntung ia kedatangan tamu malam itu. Seorang “hitam” mengetuk “pintu/dada”-nya. Disambutnya “tamu budiman” itu dan “hilang”-lah sudah esok si Nenek Kebayan.
Isu sosial juga coba diangkat dalam antologi ini, antara lain: Anggur Darah, Mega Putih, dan Pelarian Sia-Sia. Beberapa isu yang diangkat adalah kekerasan. Anggur Darah menceritakan seorang panglima yang berusaha memenuhi hasrat kelelakiannya, meneguk darah “cuma buat tanda megah gagah”. Mega Putih bercerita tentang hilangnya perlindungan terhadap perjuangan yang belum berakhir, sedangkan Pelarian Sia-Sia berbicara tentang masa depan yang tak teraba karena masa lalu yang hitam. Semua sajak sosial disampaikan secara liris. Cara penyampaian ini memberi kesan kemarahan yang terpendam dan kian membesar. Sajak-sajak Rendra yang bertemakan isu sosial dalam Empat Kumpulan Sajak merupakan cikal-bakal sajak-sajak protes yang lebih melambungkan namanya. Kumpulan sajak itu terangkum dalam Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1983).
Di sajak Ciliwung yang Manis dalam sub bab Jakarta, penggambaran hidup orang pinggiran disinggung dengan alunan lirik yang elegan. Berikut sajak lengkapnya:
Ciliwung mengalir
Dan menyindir gedung-gedung kota Jakarta
Kerna tiada bagai kota yang papa itu
Ia tahu siapa bundanya.
Ciliwung bagai lidah terjulur
Ciliwung yang manis tunjukkan lenggoknya.
Dan Jakarta kecapaian
Dalam bisingnya yang tawar
Dalamnya berkeliaran wajah-wajah yang lapar
Hati yang berteriak karena sunyinya.
Maka segala sajak
Adalah terlahir karena nestapa
Kalau pun bukan
Adalah dari yang sia-sia
Ataupun ria yang karena papa.
Ciliwung bagai lidah terjulur
Ciliwung yang manis tunjukkan lengoknya.
Ia ada hati di kandungnya
Ia ada nyanyi di hidupnya,
Hoi, geleparnya anak manja!
Dan bulan bagai perempuan tua
Letih dan tak diinfahkan
Menyebut langkahnya atas kota.
Dan bila ia layangkan pandangnya ke Ciliwung
Kali yang manis membalas menatapnya!
Hoi! Hoi!
Ciliwung bagai lidah terjulur
Ciliwung yang manis tunjukkan lenggoknya.
Teman segala orang miskin
Timbunan rindu yang terperam
Bukan bunga tapi bunga.
Begitu kali bernyanyi meliuk-liuk
Dan Jakarta disinggung dengan pantatnya.
Sajak di atas merupakan sajak yang “berhasil” melepaskan diri dari citra-citra pedesaan yang mendominasi keseluruhan sajak, melepaskan diri dari metafora yang berlebihan, dan yang penyajian lirisnya terasa mengalirkan pikir seperti sungai Ciliwung yang mengalirkan beban-beban manusia-urban-miskin di kiri dan kanannya.
Sungai Ciliwing yang Manis merupakan kontemplasi diri penyair menangkap fenomena lahiriah di sekitarnya dan yang tersaji secara jujur dan tidak hiperbolik. Tidak seperti kebanyakan sajak Rendra yang lebih nikmat ketika dideklarasikan, puisi ini, meskipun terlihat sangat sederhana dan begitu nyata dan begitu dekat realita yang diambilnya, memberikan ruang pengahayatan pencarian makna yang lebih “dalam” – yaitu pemaparan yang tidak hanya membuat menganga pendengar (pembaca) mengagumi hentakan pengandaian citra-citra dalam sajak, tetapi juga menghadirkan simpati dan menggelitik tindak lanjut pembaca untuk secara “halus” dan “liris” memahami realita.
Di sini, penyair juga berusaha mengungkapkan posisi sajak-sajaknya: Maka segala sajak/Adalah terlahir karena nestapa/Kalau pun bukan/Adalah dari yang sia-sia/Ataupun ria yang karena papa. Sajak-sajak yang terlahir dari kondisi yang demikianlah yang akan disebut sajak-protes.
Penelusuran elemen-elemen intrinsik, yang tak lengkap, tak panjang, dan tak dalam di atas, tentu saja tidak akan memberi kepuasan dalam menjembatani pemahaman atas sajak-sajak Rendra dalam kumpulan ini.
Dibutuhkan perspektif yang berbeda untuk membaca dan memahami sebuah karya sastra, misalnya, dari biografi penyair, keadaan sosial masyarakat, dan dari kerangka politik yang melingkupinya. Sangat diperlukan analisis yang dalam dan komprehensif, seperti yang pernah dilakukan dengan sangat teliti oleh Subagio Sastrowardoyo, untuk mendekati karya-karya Rendra dan untuk tidak mengekalkan mitos tentang seorang Rendra dalam untaian sejarah kesusastraan Indonesia. (Wahmuji)