Ia
berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan
Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran. Hal itu tercermin
dari sepenggal surat yang dikirimnya dan ditolak oleh Soekarno.
“Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Alquran….”
Dan,
bagaimanakah konsep negara demokrasi Kahar Muzakkar? Baginya,
demokrasi sejati digariskan Tuhan dalam Al-Quran yang menyatakan bahwa
sebenarnya kedaulatan dan kekuasaan itu mutlak ada pada Tuhan.
Arti
kedaulatan dan arti kekuasaan atas segala segi hidup manusia, ialah
kedaulatan Hukum Tuhan atas kehidupan manusia. Sehingga, menurut Kahar,
tidak dibenarkan apabila seorang manusia menyatakan segala yang
terjadi atas kuasa, kehendak, dan kedaulatannya. Lebih lanjut,
menurutnya manusia (dalam hal ini rakyat) hanya ditakdirkan untuk
memegang amanah Sang Pencipta. Sehingga, rakyat membentuk segala badan
kekuasaan pemerintah, sistem perundang-undangan, dan rakyat dapat
memilih ataupun memecat pejabat pemerintah tanpa pandang bulu.
Seperti
yang telah dipaparkan di atas, menurut cita-cita Kahar, sistem
pemerintahan yang baik adalah sistem presidensial. Dan, ia ingin
pembagian yang adil untuk negara-negara bagian dalam hal pemerintahan.
Dan, tentu saja mengadopsi prinsip kerakyatan dalam batas kedaulatan
Hukum Tuhan dengan menetapkan segala sesuatunya dengan musyawarah
melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi, ia tidak menghendaki adanya
partai politik (parpol). Ia berpendapat bahwa parpol merupakan perusak
idealisme. Ia juga tidak menginginkan organisasi massa yang dapat
mempengaruhi hukum negara. Menurutnya, lebih baik apabila
lembaga-lembaga itu berada dalam sistem kenegaraan atau kemasyarakatan
yang langsung dilakukan pemerintah bersama badan pemusyawaratan rakyat.
Sebenarnya,
gagasan besar yang dapat kita pahami dari Kahar adalah bagaimana ia
menemukan konsep pembentukan negara federal. Menurutnya, terdapat tiga
jalan untuk membentuk negara federal. Pertama, menurut administrative
indeling sewaktu masa penjajahan Belanda dengan memasukkan daerah
tingkat provinsi di Jawa dan daerah residensi di luar Jawa menjadi
Negara bagian. Kedua, memasukkan suku-suku besar seperti Jawa, Madura,
Pasundan, Aceh, Minangkabau dan lainnya menjadi Negara bagian. Ketiga,
daerah-daerah suku bangsa yang kecil di luar Jawa, ditambah dengan
penduduk yang dimigrasikan dari pulau Jawa dapat disatukan menjadi
negara bagian. Pembagian tersebut menurut Kahar harus didasarkan pada
yuridis-historis batas daerah, sejarah hidup dan yang terpenting
keinginan bersama.
Itulah
pemikirannya yang kita dapat nilai sangat maju. Gagasan-gagasan dan
konsepnya dalam membentuk Negara dituangkan dalam 20 buku bertemakan
politik, Islam, dan ketatanegaraan. Buku-bukunya yang terkenal adalah
Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia, Revolusi Ketatanegaraan Indonesia
Menuju Persaudaraan Manusia, dan Tjatatan Bathin.
Patriot Dengan Keluarga Besar
Di
tengah kehidupannya sebagai pejuang yang “mengungsi” ke hutan, Kahar
memiliki kisah cinta yang terbilang banyak. Mungkin, pernikahan juga
menjadi bagian tak terlepaskan dari perjuangan seorang Kahar Muzakar.
Ia ternyata juga membutuhkan kasih sayang dan pendamping. Ia tetap
manusia biasa. Lelaki yang penuh hasrat untuk mencinta. Walaupun,
beberapa pernikahannya dilandasi kepentingan perjuangan. Secara
keseluruhan, Kahar tercatat memiliki sembilan istri (tentu saja tidak
sekaligus, karena Islam hanya membolehkan poligami dengan batasan
maksimal 4), dan 15 anak.
Fakta
sebenarnya, di balik paras yang keras, Kahar memiliki perhatian dan
cara menyayangi yang lembut. Sebutlah Susana Corry Van Stenus, yang
kerap dipanggil Corry. Istri kedua Kahar yang dinikahinya tahun 1947.
Terhadap Corry, Kahar menyimpan perasaannya yang terdalam. Sebagai
istri Corry memang terlampau sabar dan baik. Ia rela menemani Kahar
hidup di hutan dan terasing dari peradaban luar. Bahkan, ia mengizinkan
Kahar menikah berkali-kali. Sepertinya Corry paham, maksud dan
kepentingan suaminya itu. Setelah istri pertama Kahar, Siti Walinah
diceraikan, Kahar menikahi Corry bermaksud mengislamkan dan mengajaknya
ikut berjuang. Siti Walinah ketika itu menolak berjuang di
Sulawesi.
Dalam perantauannya kemudian Kahar menikahi Siti Hami, saat itu Kahar
berusia 60 tahun. Kahar berharap istrinya ini dapat membantu membiayai
perjuangannya. Memang Siti Hami cukup kaya karena menjadi juragan Kopra
dengan kebunnya yang sangat luas.
Siti
Habibah, Istri Kahar lainnya, adalah janda panglimanya yang gugur
dalam pertempuran. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga bakti
panglimanya. Kahar juga pernah menikahi salah satu istrinya sebagai
simbol pendobrakannya pada nilai-nilai feodalisme. Di masa itu wanita
bangsawan hanya ingin menikah dengan pria bangsawan. Walau bukan
berasal dari kelompok bangsawan, Kahar sangat dihormati dan penuh daya
pikat, sehingga banyak wanita bangsawan menawarkan diri untuk dinikahi.
Wanita terakhir yang dinikahinya bernama Daya. Gadis 15 tahun
keturunan suku Marunene, suku yang biasa dijadikan budak oleh bangsawan
Bugis. Gadis itu dinikahinya atas dasar belas kasih.
Kematian Sang Panglima
Pemberontakan
Kahar berlangsung selama kurang lebih 15 tahun. Gerakan Kahar ini
memang menjadi rentetan historis yang dikenal masyarakat Sulawesi
Selatan, daerah yang menganut paham Islam syariah.Bagi masyarakat
Sulawesi Selatan, ia tetap pejuang. Ia terkenang dengan sikapnya yang
sederhana dan tegas dalam mengambil tindakan.
Perannya
untuk masyarakat Sulawesi, Kahar mampu mengedepankan penyelesaian
mufakat untuk pertentangan masyarakat dan sengketa kekerabatan.
Sehingga ia menjadi tokoh yang dihormati, dikagumi, sekaligus diminati
para kaum hawa.
Perjuangan
Kahar berakhir dalam Operasi Tumpas TNI. Kahar Muzakar tewas tanggal 3
Februari 1965. Ia ditembak mati Kopral Dua Sadeli, anggota Batalyon
Kujang 330/Siliwangi, di tepi Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara. Ia
tertembak tiga peluru pun terlontar menembus dada tepat pada waktu
06.05 WIB. Kematian Kahar menimbulkan kontroversi selama puluhan tahun.
Sebab, banyak anak buah dan pendukung Kahar yakin, yang ditembak oleh
Ili Sadeli bukanlah Kahar yang sebenarnya. Menurut mereka, Kahar
pemimpinnya, telah lenyap menyembunyikan diri. Kematiannya menjadi
misteri. Tidak ada bekas peninggalannya, bahkan makamnya pun tidak
ditemukan. Jenderal (Purn) M. Jusuf yang kala itu bertanggung jawab
akan misi ini pun menyembunyikan kematian pemimpin Islam ini hingga
akhir hayatnya.
Kini, Abdul Kahar Muzakkar hanya dianggap sebagai pemimpin yang keras, tendensius, radikal dan menghancurkan nama Islam. Padahal, yang patut dikagumi dari Kahar adalah sikap idealismenya untuk melawan sistem “bobrok” Soekarno kala itu.
Ia
rela melepaskan pangkat dan martabat untuk berjuang demi prinsipnya.
Ia bersikukuh tidak mau tunduk pada kekuasaan Soekarno hingga mati. Ini
adalah pelajaran berharga bagi kaum muda yang ingin menegakkan
idealisme.
*Sebagian orang bahkan percaya bahwa Abdul Kahar Muzakkar sebenarnya tidak meninggal pada tanggal 3 Februari 1965. Pada waktu itu beliau berhasil lolos dan menghilang, kemudian berganti nama menjadi Syamsuri Abdul Madjid alias Syekh Imam Muhammad Al Mahdi Abdullah, Pengasuh Pondok Pesantren An Nadzir, Dumai, yang meninggal pada tanngal 5 Agustus 2006. Pemberontakan Abdul Kahar Muzakkar sendiri terkenal dengan Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) 1950-1965.