Realitas Penjajahan Baru di Indonesia -->

Advertisement

Banner Iklan Sariksa

Realitas Penjajahan Baru di Indonesia

20 Jul 2012

Dekade 1940-an dianggap sebagai momen besar perubahan sejarah dunia. Di masa itu negara-negara dunia ke-3 di Asia-Afrika yang semula mengalami penjajahan, rata-rata mendapatkan kemerdekaan. Indonesia termasuk negara yang merdeka di dekade itu, setelah dianiaya negara Protestan Belanda, selama ratusan tahun. Dan kebetulan juga, decade 1940-an merupakan masa-masa akhir Perang Dunia II, dengan kemenangan di pihak Amerika dan Sekutunya.
Negara-negara di dunia, termasuk Amerika dan Uni Soviet, waktu itu sangat berkomitmen untuk membangun dunia baru yang damai, bebas dari perang, bebas dari penindasan. Amerika sendiri memiliki sejarah baik, ketika Abraham Lincoln memulai gerakan menghapuskan perbudakaan di negerinya. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan baik itu dibentuklah lembaga dunia, United Nations (PBB). PBB selanjutnya secara aktif bekerja mendukung pembangunan peradaban manusia dan sekaligus menjaga perdamaian dunia. PBB memiliki intrumen dan aturan internasional yang ditujukan untuk memelihara perdamaian dunia.
Singkat kata, era 40-an adalah masa-masa akhir praktik penjajahan negara kolonialis terhadap negara-negara Asia-Afrika. Negara-negara kolonialis itu umumnya beragama Nashrani seperti Inggris, Belanda, Perancis, Italia, Jerman, Spanyol, Portugis, dll. Ada juga yang Komunis seperti Uni Soviet dan Shinto seperti Jepang. [Tetapi tidak semua praktik penjajahan tersebut berakhir, sebab waktu itu Inggris masih berkuasa di Hongkong, Uni Soviet menjajah negara-negara Asia Tengah, Amerika berusaha menjajah Vietnam, China menjajah Mongolia, bahkan saat ini Amerika sedang menjajah Irak dan Afghanistan].


Penjajahan Baru: Tidak Dipahami Masyarakat!!!
Suatu kenyataan yang aneh. Setelah dunia masuk ke abad 21 (dihitung sejak tahun 2001), ternyata praktik penjajahan itu tidak berakhir. Praktik penjajahan tetap terjadi, hanya berubah bentuk. Banyak orang menyebut kondisi ini sebagai The New Colonialism (penjajahan baru). Penjajahan jenis ini ternyata lebih dahsyat dari penjajahan klasik. Dan salah satu korban paling parah dari penjajahan ini adalah negeri kita sendiri, bangsa Indonesia (NKRI).
Setidaknya ada beberapa perbedaan significant antara penjajahan baru dengan penjajahan klasik. Setiap Muslim Indonesia perlu memahaminya, agar tidak terlena dengan keadaan yang ada.
[1] Penjajahan modern tidak memakai serangan militer, perang, pengerahan senjata, dll. tetapi lebih banyak memakai sarana: pemberian hutang luar negeri, investasi, pembelian asset nasional dengan harga murah, memaksakan mata uang dollar sebagai standar ekonomi, kontrak karya pertambangan yang monopolis dan licik, menanam agen-agen di berbagai sektor kehidupan, dll.
Penjajahan modern tidak tampak seperti penjajahan, tetapi dampaknya sangat terasa. Persis seperti logika “bau kentut”; bentuknya tidak kelihatan, tetapi busuknya membuat orang menutup hidung.
[2] Penjajahan klasik sangat jelas siapa lawan yang dihadapi, sebab pasukan musuh melakukan invasi ke sebuah negara. Sedangkan penjajahan modern, tidak perlu pengerahan pasukan. Penjajahan dioperasikan dari jauh melalui sambungan telepon, fax, email, telekonferensi, surat-menyurat, kurir, dll. Para penjajah modern tidak perlu susah-payah berperang, sehingga tangan berdebu dan jatuh korban. Mereka cukup menjajah sebuah negara, misalnya Indonesia, dari kejauhan.
[3] Penjajahan klasik sangat disadari oleh masyarakat yang dijajah. Mereka amat sangat tahu kalau dirinya sedang dijajah, sebab pasukan musuh mondar-mandir di depan hidung mereka. Tetapi penjajahan modern amat sangat sulit dipahami oleh rakyat. Mereka merasa hidup baik-baik saja, padahal sejatinya sedang dijajah. Ditambah lagi, Pemerintah suatu negara selalu mengklaim sedang melakukan pembangunan, pembangunan, dan pembangunan; padahal sejatinya, kekayaan negeri mereka terus dijarah oleh para kolonialis.
Seperti di Indonesia ini. Setiap hari rakyat disuguhi tontonan hiburan oleh RCTI, SCTV, TransTV, Trans7, ANTV, GlobalTV, MNC TV (dulu TPI), dll. Tontonan bisa berupa musik, film, kartun, sinetron, lawak, kuiz, reality show, hiburan pengajian, sepakbola, hobi, kuliner, dll. Itu masih ditunjang oleh hiburan lain seperti video, internet, bioskop, kaset, CD/DVD, dll. Masyarakat merasa hidupnya baik-baik saja, tenang-tenang saja, banyak hiburan. Padahal semua hiburan itu hanyalah menipu akal mereka. Agar mereka tidak sadar kalau negaranya sedang dijajah oleh orang-orang asing; agar mereka tidak sadar kalau harta kekayaan negaranya terus dikuras oleh perusahaan-perusahaan asing.
Anak-anak muda yang sangat potensial disibukkan oleh tontonan bola, rokok, narkoba, pornografi, dan seks bebas. Akal mereka tidak bisa berjalan normal karena sudah dihabisi oleh bola, rokok, shabu-shabu, video mesum, dan perzinahan. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik. Misalnya, di Bandung ada ratusan ribu penggemar Persib yang sangat fanatik kepada klub asli Bandung itu. Tetapi dari ratusan ribu Bobotoh Persib itu, berapa orang yang berani menentang penindasan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan asing? Paling hanya 6 atau 7 orang saja. Urusan bola, disembah-sembah seperti berhala;  tetapi urusan ekonomi rakyat, diabaikan begitu saja. (Miris kalau memikirkan anak-anak muda ini. Akalnya seperti tidak berfungsi, padahal sehari-hari mereka juga hidup susah).
[4] Penjajahan klasik biasanya dilakukan oleh suatu negara tertentu. Misalnya negara Nashrani seperti Inggris, Perancis, Portugis, atau Spanyol. Satu wilayah dikuasai oleh satu negara saja. Tetapi di jaman modern ini, penjajahan berlangsung sangat dahsyat. Seperti terjadi di Indonesia, negara penjajah berasal dari banyak negara, seperti: Amerika, Inggris, Jepang, China, Korea, Australia, Belanda, Singapura, Taiwan, Jerman, Belgia, Finlandia, Denmark, dll. Mereka berasal dari aneka bangsa, tetapi tujuannya satu, yaitu: mengeruk kekayaan kita untuk diangkut ke negeri masing-masing. Caranya bisa berkedok kerjasama bisnis, investasi, perdagangan, penjualan teknologi, konsultasi teknik, dll.
[5] Penjajahan klasik diakui secara kesatria oleh pelakunya sebagai penjajahan. Tetapi penjajahan modern tidak demikian. Mereka tidak pernah mengaku sebagai penjajah, tetapi selalu berkedok investasi, kerjasama perdagangan, memberi pinjaman hutang, membeli asset-asset, membeli SUN, dll. Intinya, menyedot kekayaan kita, tetapi caranya tampak sopan, halus, dan modern. Tetapi hakikatnya ya mengeruk kekayaan itu. Karena inti penjajahan memang: mengeruk harta benda negara lain secara licik! Covernya bisa macam-macam, tetapi intinya seperti semboyan penjajahan klasik dulu, “Gold, Gospel, Glory.”
[6] Dalam penjajahan lama, semua kalangan nasional berusaha melakukan perlawanan kepada penjajah. Kecuali kaum pengkhianat yang menjadi jongos para penjajah. Dalam penjajahan modern, praktik penjajahan itu justru difasilitasi oleh negara, difasilitasi oleh birokrasi, difasilitasi oleh para pejabat, bahkan didukung oleh anggaran APBN/APBD. Ini luar biasa. Pemerintahan suatu negara justru berjuang dengan mengerahkan APBN/APBD untuk memuluskan agenda-agenda penjajahan asing. Masya Allah, betapa terkutuknya perilaku para pejabat negara itu.
Contoh, mereka mengundang komisi dari IMF, atau Bank Dunia, atau CGI, atau WTO, atau CAFTA, dll. Komisi-komisi itu datang dengan membawa proposal kerjasama yang menguntungkan diri mereka sendiri. Pejabat-pejabat kita hanya bisa manggut-manggut, menyetujui, memberi tanda tangan, dll. Tidak ada perlawanan, penolakan, atau ketegasan sama sekali. Para anggota komisi itu sudah tahu kuncinya, “Kasih saja pejabat Indonesia dengan cewek cantik dan uang satu miliar. Dijamin mereka akan diam seribu bahasa.” Anggota komisi itu rapat di gedung negara, memakai fasilitas negara, diberi pelayanan dengan anggaran negara, diberi cindera mata dari anggaran negara, dll. Intinya, negara memfasilitasi para penjajah untuk menindas rakyat negeri itu sendiri.
Sementara rakyat negeri itu sendiri terus asyik nonton sinetron Cinta Fitri, nonton Opera Van Java, terus asyik joget dangdut, terus asyik tawuran setelah nonton bola, terus asyik main FB, terus asyik nonvon video Ariel Superporn,… Seakan otak mereka tidak berisi apa-apa, selain lumpur.
[7] Dalam penjajahan lama, setiap upaya perlawanan menentang penjajah akan dibela mati-amtian oleh rakyatnya. Kalau perlu dibela dengan diberi makan nasi bungkus, singkong rebus, ikan asin, atau lauk terasi. Tetapi penjajahan modern sama sekali berbeda. Negara justru mengerahkan APBN untuk memerangi benih-benih perlawanan itu. Caranya, dengan mengembuskan fitnah terorisme. Masyarakat ditakut-takuti dengan kampanye seperti, “Awas teroris! Waspada terorisme! Teroris musuh bersama!” Foto teroris dipampang dimana-mana, penangkapan teroris selalu mendapat liputan khusus dari TVOne, anggota Densus88 bergerak melakukan penangkapan, penembakan, penggerebekan, dll. Semua itu dalam rangka menciptakan suasana takut di hati masyarakat dan penyesatan opini.
Sementara aparat keamanan itu tidak pernah peduli dengan kenyataan lain, berupa pengerukan kekayaan nasional oleh negara-negara asing, penindasan bisnis rakyat oleh perusahaan-perusahaan asing, penghancuran lingkungan, penghancuran budaya, penghancuran sosial, yang dilakukan bangsa-bangsa asing. Seharusnya, mereka menyergap para penjajah itu dengan kehebatan aksi-aksi Densus88, bukan menciptakan ketakutan nasional melalui isu terorisme.
[8] Indonesia pernah dijajah Belanda (dan VOC) selama sekitar 350 tahun. Selama itu, kita umumnya hanya kehilangan rempah-rempah, sedikit batu bara, sedikit minyak bumi. Dari sisi kekayaan tidak terlalu besar, apalagi rempah-rempah itu sifatnya bisa ditanam kembali. Tetapi setelah Indonesia merdeka tahun 1945 lalu, setelah kini berjalan 65 tahun, nyaris kita telah kehilangan segala-galanya. Hutan dibabat, aneka barang tambang dikeruk, hasil tanaman diambil, ikan dicuri, lingkungan dirusak, perusahaan dibeli, surat berharga negara diborong, catatan hutang makin menumpuk, sungai dikuasai, sumber-sumber energi dikuasai, bahkan pasar kebutuhan umum juga dikuasai barang-barang asing. Sejak urusan mesin, mobil, computer, listrik, piranti pendidikan, percetakan, tekstil, garmen, makanan, makanan bayi, susu, obat-obatan, sarana hiburan, sampai urusan kecil seperti kecap, saus, sambel, terasi, sabun, sampo, dll. semuanya sudah dikuasai asing. Kita hanya kebagian ampas dan menjadi jongos asing saja.
Wajar kalau kemiskinan di negeri ini tidak sembuh-sembuh. Bagaimana akan sembuh, sejak ujung kepala sampai ujung kaki, semuanya sudah dikuasai asing? Semua ini terjadi karena pengkhianatan mayoritas pejabat negara. Merekalah yang menyerahkan kunci-kunci harta benda negara ke tangan asing. Bagaimana rakyat Indonesia akan selamat dengan keadaan seperti ini?
Penjajahan ini sangat nyata. Tidak bisa dipungkiri lagi. Sri Mulyani pernah menolak keras istilah penjajahan itu. Kata dia, kita bisa berdiri sejajar dengan negara-negara lain, sambil menegakkan kepala penuh percaya diri. Yang dimaksud percaya diri itu ternyata dengan menjadi kaki-tangan IMF dan Bank Dunia dalam menyengsarakan rakyat sendiri. Wajar Sri Mulyani menolak istilah penjajahan, sebab dia adalah anggota inti dari agen-agen para penjajah itu.
Seorang anggota DPR dari PDIP baru-baru ini berbicara di sebuah stasiun TV. Dia jelas-jelas mengakui adanya praktik penjajahan asing, khususnya dalam penyusunan 72 UU negara atas pesanan asing. Dia mengatakan, “Kalau penjajahan dulu sudah jelas musuhnya. Kalau sekarang, penjajahan dilakukan melalui UU. Jadi kita selama ini hanya dibodoh-bodohi saja.” Kurang-lebih seperti itu yang dia katakan. Pengakuan seperti ini sudah sejak lama diingatkan oleh aktivis-aktivis Islam. Hanya saja, banyak pihak memandang sepi warning seperti itu.
Saudaraku… Anda jangan sekali-kali memandang remeh persoalan ini. Kolonialisme baru benar-benar sedang berjalan di Indonesia. Bahkan ia sudah berjalan lama. Reformasi 1998 adalah pintu masuk kaum penjajah untuk semakin mengobrak-abrik kehidupan bangsa kita. Media TV, sepakbola, rokok, internet, musik, komedi, film, dll. merupakan cara sistematik untuk membuat masyarakat buta terhadap kondisi penjajahan yang sedang terjadi. Sedangkan isu terorisme yang dikembangkan Polri adalah cara cerdas untuk menakut-nakuti rakyat agar tidak berani mengganggu proses pengerukan kekayaan oleh kaum penjajah asing.
Sangat mengerikan sekali. Negara mengeluarkan APBN/APBD justru untuk memuluskan agenda penjajahan. APBN/APBD diambil dari pajak dan hutang Pemerintah ke para kreditor. Baik pajak atau hutang, semua itu harus dipikul oleh rakyat Indonesia. Tetapi sangat mengerikan sekali, APBN/APBD oleh pejabat-pejabat korup –semoga Allah melaknati mereka dan keluarganya- justru dipakai untuk memuluskan program kaum penjajah di Tanah Air. Mana lagi ada kezhaliman yang lebih besar dari itu? Begitu keji dan sadisnya, sampai iblis pun pingsan tak kuat membayangkan kekejiannya.
Hal yang paling kita takutkan ialah nasib anak-anak kaum Muslimin di masa nanti. Bagaimana nasib mereka nanti? Apakah mereka masih tetap Muslim, masih membaca Al Qur’an, masih menegakkan Shalat, masih memakai jilbab (bagi yang wanita), masih mendoakan orangtua? Atau mereka sudah berbondong-bondong murtad dari agamanya, akibat bangsa ini semakin hancur karena penjajahan modern? Apakah kita sanggup membayangkan anak-anak kita nanti dianiaya, ditindas, diperbudak, atau dimurtadkan oleh bangsa-bangsa asing? Apa gunanya kini kita menikah, punya anak, membangun rumah-tangga, jika akhirnya kelak anak-anak kita akan murtad? Na’udzubillah wa na’udzubillah tsumma na’udzubillah min dzalik.
Islam adalah agama yang anti penjajahan. Penjajahan siapapun, kepada siapapun, diharamkan dalam Islam. Penjajahan akan melahirkan penindasan, kezhaliman, kesewenang-wenangan, kehancuran iman, kemiskinan, kehinaan martabat, perpecahan sosial, serta kehancuran kehidupan. Wajib bagi kaum Muslimin menentang praktik penjajahan, dan tidak merasa takut kepada siapapun, selain hanya kepada Allah Al Wahid belaka.
Penjajahan baru ini sangat dahsyat. Masyarakat tidak merasa bahwa hidupnya sedang dijajah oleh negara/perusahaan asing. Sementara itu Pemerintah tidak punya nyali untuk menentang praktik penjajahan itu. Malah mereka memakai APBN/APBD untuk memfasilitasi penjajahan tersebut. Pemerintah secara sistematik menciptakan opini seputar terorisme, untuk menakut-nakuti rakyat. “Siapa yang mau macam-macam, akan kami tembak seperti teroris ini!” begitu pesan yang ingin mereka sampaikan kepada rakyat. Jadi klop sudah. Penjajahan semakin aman, menancap secara dalam, dan merajalela dimana-mana.
Semua keadaan ini seperti seruan adzan. Saat terdengar suara “Allahu Akbar, Allahu Akbar,” itu pertanda kaum Muslimin dipanggil untuk kumpul di masjid, melaksanakan shalat berjamaah. Begitu pula, saat Anda semua diingatkan tentang bahaya penjajahan baru ini, itu adalah seruan agar kita berkumpul, menyatukan langkah dan kekuatan, dalam rangka mengakhiri kezhaliman. Bukan hanya kita berpikir untuk menyelamatkan bangsa dan kehidupan rakyat; tetapi kita juga berpikir untuk menyelamatkan masa depan Islam di negeri ini. Lihatlah dengan hati yang jujur! Apabila kehidupan rakyat semakin rusak, maka pengamalan agama pun menjadi rusak. Nanti lama-lama agama ini akan lenyap dari negeri ini. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah min dzalik.
Ingatlah, lestari tidaknya Islam di bumi Nusantara, bukan karena banyaknya masjid yang berdiri, banyaknya Al Qur’an yang dicetak, banyaknya madrasah yang didirikan, atau banyaknya pesantren yang bermunculan. Lestari tidaknya Islam, tergantung pengamalan agama itu sendiri oleh pribadi-pribadi Muslim. Meskipun masjid ada beribu-ribu, kalau jamaah kosong, Islam akan mati.
Ya Allah, maafkan kami, ampuni kami, rahmati kami. Sesungguhnya Engkau adalah Pelindung kami, maka tolonglah kami atas orang-orang kafir. Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in