Sebuah Novel "Bulang Cahaya" -->

Advertisement

Banner Iklan Sariksa

Sebuah Novel "Bulang Cahaya"

18 Des 2009

Tentang racikan bumbu percintaan yang kandas antara dua tokoh (Raja Jaafar yang memiliki garis keturunan Bugis-Melayu, dan Tengku Buntat yang memiliki garis murni Melayu), memang merupakan benang merah cukup penting dalam merakit novel ini menjadi sebuah novel yang indah. Meskipun pada beberapa bagian saya anggap kurang optimal, tapi penggarapan kisah cinta yang mewarnai sebuah pergolakan besar, adalah sebuah mata air bagi daya tarik pembaca untuk melayarkan imajinasinya menuju pada muara besar persoalan sesungguhnya. Dari dua tokoh sentral inilah, Rida memulai penjabaran pancakaki (jalinan sejarah kekerabatan) yang melatarbelakangi terbentuknya sebuah imperium kekuasaan Bugis-Melayu di tanah Riau. Dijabarkan lewat pancakaki yang menghubungkan Raja Jaafar dan Tengku Buntal, bahwa Raja Jaafar adalah cucu dari Daeng Celak (putra dari bangsawan Kerajaan Luwu, Bugis, yang kemudian menikah dengan Tengku Mandak yang berdarah Melayu, dan menjadi Yang Dipertuan Muda II), yakni anak dari Raja Haji (yang kemudian menjabat sebagai Yang Dipertuan Muda IV). Siapakah Daeng Celak? Daeng Celak adalah salah satu dari lima bersaudara (yakni Daeng Marewa, Daeng Celak, Daeng Perani, Daeng Manambun dan Daeng Kumasi, yang kesemuanya adalah bangsawan Bugis) yang berjasa membantu Tengku Sulaiman saat berperang untuk menyingkirkan Raja Kecik dari tahta Kerajaan Johor. Atas balas jasa Tengku Sulaiman, yang kemudian naik tahta menjadi Sultan, dibuatlah sebuah perjanjian antara Bugis-Melayu yakni Ikrar Sumpah Setia Melayu Bugis yang berisi kesepakatan untuk membangun negara secara bersama-sama, dengan pembagian wewenang dari pihak Bugis untuk secara mutlak mengepalai keamanan dan ekonomi (dengan gelar Yang Dipertuan Muda), sedangkan dari pihak Melayu memiliki wewenang sebagai kepela pemerintahan (yang mengurusi urusan dalam negeri, agama, dan adat istiadat). Dari garis keturunan tersebut, maka Raja Jaafar kelak adalah pewaris tahta yang sah untuk jabatan Yang Dipertuan Muda. Sedangkan Tengku Buntal adalah putri berdarah Melayu anak dari Tengku Muda Muhammad (yang kelak dinobatkan secara tidak fair menjadi Yang Dipertuan Muda V, sebuah keputusan yang dianggap menciderai Ikrar Ikrar Sumpah Setia Melayu Bugis).
Ikatan darah dari hasil perkawinan Melayu-Bugis, yang berkembang kemudian menjadi strategi politik untuk saling menguasai inilah yang pada akhirnya menjadi cikal bakal kerumitan yang berujung pada ketegangan hingga pertumpahan darah. Nafsu saling menguasai, saling mempengaruhi, fitnah dan ancaman, ditambah keruwetan campur tangan luar (yakni pihak Inggris dan Belanda), menjadikan Riau selalu terancam perpecahan.