Mahasiswa sebagai bagian dari negara
ini telah mendapat legitimasi dari sebagian besar masyarakat sebagai
agen revolusi. Kita masih ingat bagaimana negara ini terbentuk, para
akademisi pada waktu itu yang terwadahi dalam Idische Partij
mempunyai peran yang cukup signifikan terhadap proses kelahiran NKRI.
Masih tercatat pula di ingatan bagaimana orde baru tumbang sepuluh
tahun silam. Mahasiswa pada waktu itu mempunya satu common enemy
sehingga secara masif mereka bergerak bersama dengan satu tujuan yaitu
menumbangkan orde baru sehingga akhirnya lahir orde reformasi. Masa
berlalu, tahun berganti seakan negara ini terlahir kembali. Layaknya
seorang balita yang baru lahir negara ini pun saat ini sedang
“lucu-lucunya” maksudnya sedang lucu-lucunya dipermainkan oleh
menjamurnya ideologi-ideologi yang mulai bebas merasuki setiap kepala
orang khususnya mahasiswa. Setiap orang berusaha mencari pembenaran
atas ideologi yang dianutnya itu dan berusaha agar bisa diaplikasikan
dalam sistem kenegaraan. Berawal dari segelintir mahasiswa idealis,
muncul bermacam organisasi ekstra kampus sebagai sarana terwujudnya
negara sesuai dengan cita-cita idealismenya. Aktivis-aktivis kampus
mencoba menjadi problem solver dari berbagai masalah
kenegaraan dengan cara masing-masing. Bergerak sendiri sendiri tanpa
koordinasi. Pergerakan dengan arah tak jelas seakan tidak ada lagi
musuh bersama saat ini, bahkan teman bisa dianggap musuh dan musuh
dianggap teman sesuai kepentingan masing masing. Sehingga sekarang
tumbuh subur di kepala kepala aktivis mahasiswa adagium politik “Tiada musuh yang abadi yang ada adalah kepentingan yang abadi”.
Kepentingan politik praktis dengan memanfaatkan pergerakan mahasiswa (organisasi kemahasiswaan ekstra kampus-red) sudah menjadi trend
menjelang detik detik Pemilu dan Pilpres. Memang sah-sah saja dan
tidak ada yang melarang namun ketika itu sudah menjadi persaingan yang
tidak sehat antar kepentingan, sehingga salah satu pihak menyudutkan
pihak lain apatah lagi jika fitnah digunakan demi memuluskan tujuannya,
maka hal ini akan menjadi masalah yang cukup serius. Bangsa yang
sedang mencoba membangun kecerdasan politik seakan berjalan di tempat
bahkan mundur menuju apa yang disebut pembodohan politik. Organisasi
ekstra kampus yang berafiliasi dengan kepentingan politik praktis
“tertentu” mencoba menjegal lawan politiknya dengan mengebiri cikal
bakal munculnya organisasi ekstra kampus lain yang menurut anggapannya
bisa “membahayakan” eksistensinya (mengancam perolehan suaranya-red).
Bahkan dalam suatu kasus secara frontal kekuatan kepentingan politik
dengan memanfaatkan organisasi ekstra kampus ini memojokkan lawan
politiknya dengan pernyataan-pernyataan yang tidak berdasar dan sangat
tidak obyektif. Wacana-wacana dimunculkan melalui diskusi atau seminar
mahasiswa. Mereka mencoba mengubah mindset pemikiran peserta
seminar/diskusi dengan harapan agar mereka tidak simpatik terhadap lawan
politiknya. Bertajuk seminar perbandingan ideologi, kekuatan politik
praktis dengan muka organisasi ekstra kampus ini menarik perhatian para
mahasiswa dengan mendatangkan narasumber-narasumber yang sudah “diatur”
agar pedas mengkritisi tanpa mendatangkan narasumber dari pihak lawan
politiknya, sungguh subyektif sekali dan sangat tidak ilmiah. Wacana
pun terbentuk seolah olah mengatakan “Jangan kalian simpatik dengan si
ini, si anu, partai ini, partai itu karena mereka bla…bla…bla…” alasan
alasan muncul mulai dari radikal lah, eksklusif lah, dananya dari
Amerika lah dan berbagai lah lah yang lain.
Organisasi
ekstra kampus sebagai wadah pengembangan ideologi sekaligus kawah
candradimuka menuju pencerdasan politik bangsa seharusnya bisa bersikap
bijak dan dewasa dengan memberi ruang bagi ideologi lain (tentunya
yang tidak bertentangan dengan dasar negara kita) agar masuk ke
kampusnya. Sangat penting adanya semangat “berlomba-lomba dalam
kebaikan” pada setiap aktivis mahasiswa. Dengan demikian akan muncul
suasana kampus yang dinamis dan ideal tanpa adanya otoritas superior
maupun tirani minoritas. Sungguh sangat ironis ketika kita menghadapi
mahasiswa yang apatis terhadap lingkungannya dikarenakan superioritas
salah satu ideologi tertentu. Akhirnya, kita menunggu produk-produk
organisasi ekstra kampus baik berupa kader maupun wacana yang bijak dan
dewasa menuju Indonesia yang demokratis. Hidup Mahasiswa !!!