Pemimpin dan “Boneka Kayu” -->

Advertisement

Banner Iklan Sariksa

Pemimpin dan “Boneka Kayu”

20 Jul 2012

Anda pernah melihat seni pertunjukkan boneka kayu?
Di Indonesia tidak populer, tetapi di negeri-negeri lain populer, seperti Jepang atau China. Kalau di Barat, kita mengenal boneka kayu, Pinokio. Dalam seni boneka kayu itu, sebuah boneka kayu terlihat bergerak, menari, berputar-putar, dll. di sebuah panggung kecil yang telah disiapkan secara khusus. Boneka itu tentu tidak bisa bergerak sendiri. Ia digerakkan oleh tali-tali dari atas panggung. Seorang dalang yang tangannya lincah dan terlatih menggerakkan boneka itu dengan benang atau tali.
Untuk menjadi sebuah boneka kayu yang handal, tidak dibutuhkan keistimewaan tertentu. Cukup dia memiliki bentuk yang bagus, kayunya diolah rapi, dicat dengan mengkilat, lalu diberi pakaian yang lucu. Biasanya tidak ketinggalan memakai topi untuk pelengkap. Kalau cerita yang dimainkan rumit, properti dan kostum lebih bervariasi.


Filosofi "Pinokio" Banyak Dipakai di Negara-negara Muslim Pontensial (seperti Indonesia ini).
Dalam politik, seorang pemimpin kadang disifati seperti: boneka kayu. Mengapa demikian? Sebab, tugas utama pemimpin itu hanya tampil di panggung politik saja, dengan tanpa memiliki independensi sama sekali. Dia tidak memiliki ide, pikiran, gagasan, visi, missi, empati, pembelaan, wibawa, dll. Sama sekali tidak ada. Sebab tugas inti dia hanya tampil di depan umum dengan performa rapi, gagah, memberi harapan, menebar janji, dan penuh wibawa. Tugas utamanya hanya di lapangan ENTERTAINMENT POLITIK, bukan dalam kepemimpinan riil.
Apakah ada pemimpin politik yang seperti “boneka kayu” itu?
Ada, dan ini sangat nyata. Pemimpin seperti Hosni Mubarak di Mesir termasuk golongan pemimpin seperti ini. Hosni Mubarak itu tidak pernah berpikir untuk memajukan kehidupan rakyatnya yang mayoritas Muslim itu. Tugas pokok Hosni ialah: Menjaga politik Mesir agar terus menjadi penyangga kepentingan Israel. Coba perhatikan kebijakan-kebijakan politik luar negeri Mesir, tak ada yang bertentangan dengan kepentingah Israel.
Untuk melancarkan missi itu, Hosni Mubarak harus terus memimpin Mesir, sampai dirinya wafat. [Ada yang mengatakan, Hosni Mubarak sudah wafat. Orang yang muncul di permukaan selama ini adalah orang yang serupa dengan dia. Wallahu A'lam bisshawaab].
Tentu saja kebijakan politik Hosni Mubarak itu amat sangat dibenci oleh aktivis-aktivis Islam di Mesir. Hosni Mubarak sadar dengan hal itu. Maka selama memimpin Mesir, Hosni Mubarak dikelilingi oleh level keamanan terbaik di dunia. Dia amat sangat dijaga dari resiko serangan, sabotase, pembunuhan, dll. Hosni amat dijauhkan dari rakyatnya, tidak boleh bersentuhan dengan rakyat, kecuali secara formal belaka.
Sejatinya, posisi Hosni Mubarak adalah seperti “boneka kayu”. Dia tampil di panggung politik, tetapi sebatas tampil saja. Tidak memiliki ide, visi, missi, independensi, empati, dll. Semua kekuatan kepemimpinannya dilucuti. Hosni hanya sebagai “boneka kayu”, sedang ada kekuatan lain (asing) yang mengendalikan dirinya. Upaya yang sama pernah akan dilakukan terhadap pemimpin Syria, tetapi gagal.
Kasus yang mirip dengan Hosni Mubarak ini ada di Afghanistan, di bawah Hamid Karzai, di Irak di bawah Nuri Al Maliki, atau di Pakistan di bawah mantan Presiden Pervez Musharraf. Kesemua pemimpin itu adalah “boneka kayu” yang tidak memiliki nyali, independensi, dan ruh kepemimpinan sama sekali.

Politik Boneka: "Mengutamakan Citra Zhahir, Tanpa Realitas Bathin."
Di bawah pemimpin bertipe “boneka kayu”, amanah kehidupan rakyat diabaikan. Missi negara akhirnya diarahkan untuk melayani kepentingan asing (kolonial), dengan tidak menghiraukan kepentingan rakyat sama sekali. Dulu, dalam sejarah Indonesia, cara serupa juga ditempuh Kompeni Belanda. Mereka mengangkat Bupati, Wedana, bahkan Raja, yang menjadi boneka-boneka politik. Bupati, Wedana, atau Raja itu bekerja untuk melanggengkan kepentingan penjajah Belanda. Rakyat menjadi korban, Belanda pesta-pora dengan aneka kekayaan jarahan; dan pejabat-pejabat boneka itu dan keluarganya hidup makmur, sebagai penjilat kolonial.
Ternyata, sejarah berulang kembali…
Soekarno, Soeharto, dan Habibie… ketiganya masih dianggap sebagai pemimpin yang memiliki ide, gagasan, visi, missi, empati, pembelaan, harga diri. Tetapi setelah periode mereka berlalu, tidak satu pun pemimpin Indonesia yang memiliki independensi. Semuanya seperti “boneka kayu”. Apalagi pemimpin yang sejak 2004 memimpin Indonesia, sangat kelihatan sekali karakter “boneka kayu”-nya.
Ciri pemimpin “boneka kayu” sederhana saja:
(a) Peran utamanya membangun citra kepemimpinan, ya semacam pertunjukan politik begitulah; (b) Pemimpin seperti itu tidak memiliki independensi, ide, gagasan, visi, missi, empati, dll. sebab seluruh sisi kebijakan politiknya dikendalikan oleh kepentingan asing (kolonial); (c) Missi utama pemimpin seperti itu ialah melayani kepentingan asing (kolonial), bukan untuk kebaikan rakyat negerinya sendiri.
Pemimpin “boneka kayu” biasanya selalu menekankan citra, seraya tidak bisa memberikan makna berarti bagi rakyatnya. Ya itu wajar, sebab job description tugasnya memang hanya sebatas itu. Dia akan sangat sensitif kalau ada gangguan dalam soal pencitraan; tetapi tidak sensitif kalau ada gangguan terhadap hak-hak rakyatnya.
Pemimpin seperti itu juga biasanya menerapkan sistem sekuriti sangat tinggi. Kemanapun dia berjalan akan selalu dikelilingi oleh sistem penjagaan luar biasa. Dia benar-benar dijaga agar tidak tersentuh oleh siapapun yang memusuhi dirinya. Misalnya, ketika berkunjung ke sebuah lokasi banjir di Papua, dia harus memakai kapal militer dengan persenjataan penuh. Ini hanya contoh saja.
Para kolonial yang notabene “dalang” yang menggerakkan “boneka kayu” itu, mereka sudah memikirkan tingkat sekuriti sangat tinggi untuk menjaga boneka-boneka politik yang sedang mereka kendalikan. Itu sudah dipikirkan sangat matang. Persis seperti penjagaan yang diberikan kepada Hosni Mubarak, Hamid Karzai, Nuri Al Maliki, juga Perves Musharraf.
Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dan pelajaran, bahwa: Jaringan kolonialisme dunia itu sudah sedemikian hebat, merambah negeri-negeri Muslim, sehingga mampu memaksakan boneka-boneka mereka untuk memimpin negeri-negeri itu, demi kepentingan ekonomi mereka.
Tiada izzah, selain hanya bersama agama Allah Ta’ala.