
Sejak Kan-to-li runtuh pada 563 M, ada
jarak delapan puluh tahun sebelum Kerajaan Melayu di Sumatra bagian
timur mengirimkan sebuah misi ke Cina dan melakukan perdagangan.
Kondisi itu menunjukkan bahwa tanda-tanda kehidupan mulai muncul
kembali. Saat itu, Kerajaan Funan benar-benar telah runtuh. Jalur darat
menyeberangi Genting Tanah Kra tak digunakan lagi, dan pola perdagangan
telah berganti ke jalur laut menuju Selat Malaka.
Ketika Kerajaan Ko-ying dan Kan-to-li mulai berdiri, kelangsungan hidup
kerajaan-kerajaan di Indonesia telah dan terus bergantung pada
keseimbangan tiga jenis hubungan, yaitu:
Penguasa, yang berkuasa di pelabuhan-pelabuhan yang berdekatan dengan
sungai-sungai besar, yang dapat mengendalikan pergerakan dari daerah
pedalaman menuju wilayah pantai, dan sebaliknya: Produsen, dalam bidang
kehutanan, pertanian, dan pertambangan di daerah pedalaman yang membawa
kemakmuran bagi kerajaan; Pelaut kerajaan yang kadang-kadang
independen, yang melindungi wilayah kerajaan dari para bajak laut yang
jahat. Mengawaki kapal armada dagang, dan dalam kasus Sriwijaya,
membentuk angkatan laut yang terorganisasi dengan baik. Hubungan ini
yang biasanya melibatkan orang-orang berlainan budaya, suku, dan
loyalitas disatukan tidak hanya dengan aliansi formal yang dibuat di
bawah sumpah, tetapi juga dengan berbagi barang-barang rampasan dari
perdagangan mancanegara yang saling menguntunakan. Sistem tersebut
sangat rapuh karena jika keseimbangan tersebut terganggu jika
perdagangan menurun dan keuntungan juga menurun, produsen akan menahan
produknya, atau bahkan mencari pasar yang lain. Atau. seperti yang
mungkin terjadi pada Kan-to-li, para pelaut kemungkinan telah
mengkhianati sumpah mereka dan pergi berlayar mencari peruntungan yang
lebih baik, atau kembali ke kehidupan lama mereka sebagai bajak laut
yang tak mengenal susah. Penerus Kan-to-li di sebelah tenggara Sumatra,
yaitu Sriwijaya, kemungkinan mengalami peningkatan kemakmuran seperti
layaknya daerah-daerah lain karena sistem persimpangan Sungai
tradisional. Tetapi terdapat faktor penting yang membedakan Sriwijaya
dengan daerah-daerah lainnya. Seraya membentuk aliansi yang kuat dengan
kerajaan-kerajaan tetangga untuk melindungi wilayah pertahanannya,
Sriwijaya sendiri membangun angkatan perang yang kuat yang terdiri dari
prajurit untuk melakukan "pendekatan", dan bila perlu, memaksa
penduduk pedalaman untuk menghormati kesepakatan mereka.
Pada saat yang sama, Kerajaan Sriwijaya, dari ibu kotanya Palembang di
tepi Sungai Musi, tampaknya telah membangun "Angkatan Laut Kerajaan
yang terdiri dari para pelaut Nomaden" yang lebih kuat daripada
wilayah-wilayah tetangganya. Pada akhir abad ke-7, angkatan laut
tersebut telah mendominasi jalur perniagaan laut melalui Asia Tenggara.
Sebuah inskripsi yang ditemukan di dekat Palembang menunjukkan kekuatan
yang dimilikinya. Inskripsi itu menjelaskan bagaimana Raja Sriwijaya
pada 23 April 683 M berusaha mendapatkan siddhayatra sebuah proses
menuju "kekuatan supernatural" dengan 20.000 prajurit yang
mengalu-alukannya, yang ditugaskan di atas kapal untuk menaklukkan
musuh bebuyutannya, Kerajaan Melayu (sekarang Jambi), dan mengukuhkan
kekuasaannya terhadap masyarakat di sepanjang Sungai Batanghari.
Ekspansi yang didukung oleh kekuatan semacam itu tidak pernah terjadi
sebelumnya dan Sriwijaya tidak berhenti hanya sampai di Jambi.
Meskipun ada dugaan bahwa angkatan laut Sriwijaya disusun dari golongan
orang laut yang tinggal di pulau-pulau dekat pantai, bukan demikian yang
sesungguhnya terjadi. Jika orang laut yang dimaksud di milenium pertama
adalah orang-orang yang secara relatif masih primitif, individualistik,
kelompok pelaut nomaden yang belakangan tinggal di sekitar Selat Malaka
sampai Kepulauan Lingga, tidak mungkin mereka dapat mengerahkan
kedisiplinan dan kekuatan untuk menciptakan angkatan laut yang
terkoordinasi seperti yang dibutuhkan Sriwijaya.
Tetapi, jika angkatan laut tersebut tidak dibentuk dari para pelaut lokal, lalu siapakah mereka sebenarnya?
Untuk bertahan hidup di wilayah kepulauan, sebagian besar orang
Indonesia telah mengasah kemampuan mengarungi lautan sebagai dasar untuk
bertahan hidup sejak zaman dulu. Seperti yang ditulis oleh O.W.
Wolters: “Kehandalan bangsa Melayu sebagai pelaut tidak hanya dikenal
pada masa I Tsing, yang berlayar ke India dengan salah satu kapal
mereka. Kepandaian mereka pada abad ke-7 itu diraih melalui petualangan
gagah berani menembus samudra dalam waktu yang panjang." Catatan yang
dibuat pada abad ke-3 menceritakan kapal-kapal yang berlayar dari
Filipina menyeberangi lebih dari 800 mil lautan lepas mcnuju Funan; tiga
ratus tahun kemudian. Utusan-utusan Cina berhasil mencapai Semenanjung
Malaya dengan menggunakan kapal "barbar". Di luar itu semua, kita telah
mengetahui bahwa bangsa Indonesia telah berpengalaman dalam hal bahari
selama ribuan tahun.
Lalu, siapa sebenarnya orang-orang yang mengawaki kapal-kapal kuno tersebut?
Mengejar hantu berusia dua ribu tahun terbukti hanya membuang-buang
waktu percuma. Oleh karena itu, daripada mencoba menarik kesimpulan dari
bukti arkeologi yang tidak memadai dan referensi Cina yang tak jelas,
mungkin kita bisa mendapat lebih banyak informasi tentang mereka dengan
mempelajari cara berlayar sepanjang masa, dan mencoba memperkirakan apa
yang terjadi pada masa lampau.
Ada beberapa kelompok pelaut nomaden yang bertahan di seluruh pelosok
kepulauan yang mcrupakan keturunan pelaut-pelaut masa lampau yang patut
untuk digali keberadaannya. Salah satunya yang cukup dikenal dan tampak
nyata adalah Mawken, yang berasal dari kelompok manusia-perahu, yang
karena posisi mereka di sepanjang pantai Semenanjung Kra, kemungkinan
memiliki pengaruh yang kuat di wilayah tersebut. Tetapi, meskipun Mawken
digambarkan sebagai "pelaut yang paling handal di muka bumi",
perahu-perahu mereka yang dibuat dari batang pohon yang dilubangi
berukuran kecil, dan mereka menurut pengamatan orang pada abad ke-18
merupakan penduduk asli yang pemalu dan langsung berpencar dan
bersembunyi di hutan-hutan bakau jika melihat orang asing. Menurut salah
satu cerita mengenai asal-usul mereka, mereka tinggal di lahan yang
ditumbuhi kelapa, pisang, nanas, sukun, dan lain-lain. Tetapi karena
terus-menerus diganggu oleh para tuan tanah Birma dan Malaya, mereka
akhirnya meninggalkan lahan mereka untuk tinggal secara permanen dalam
perahu-perahu kano yang menjelma menjadi rumah terapung yang mereka beri
atap. Mereka tidak memiliki sejarah tentang perahu-perahu besar yang
mampu berlayar mengarungi samudra, sehingga dapat diabaikan.
Di perairan sekitar Kalimantan dan di selat antara Singapura dan
Sumatra, terdapat sejumlah besar "Orang Laut" yang lain: Orang Tambus,
Orang Mantang, Orang Barok, Orang Galang, Orang Sekanak, Orang Pasik,
Orang Moro, Orang Sugi, dan lain-lain. Mereka yang terbagi-bagi dalam
lusinan suku yang lebih kecil, tak diragukan lagi memiliki peran yang
penting tetapi mereka kcmungkinan hanya tcrdiri dari kumpulan-kumpulan
kecil yang bersembunyi di hutan-hutan bakau dan muara-muara di
pulau-pulau keeil yang tak terhitung banyaknya yang merupakan ancaman
bagi para pelintas yang kurang waspada dan lebih baik dihindari.
Seperti halnya Mawken, menurut cerita-cerita yang santer tentang
mereka, mereka tidak mungkin dikategorikan sebagai orang-orang yang
mampu membangun kelompok penjelajah dan pedagang terorganisasi yang
dapat mengarungi samudra menuju India dan Afrika. Mereka lebih mirip
seperti kelompok yang bisa disebut orang laut, kelompok Ma-lo-nu dari
Sarawak yang menurut riwayat Cina, para pemimpinnya melubangi gigi
emasnya serta makan dan minum dari tengkorak manusia, dan "... merupakan
kelompok orang-orang liar, yang menangkap kapal karam, memanggang awak
kapal yang karam tersebut di atas api dengan menggunakan penjepit bambu
yang besar dan memakan mereka".
Jauh di sebelah timur kepulauan, antara Sulawesi dan Mindanao terdapat
suku Samal yang gemar berperang yang memiliki perahu besar sejenis
kora-kora. Pada 1847, kapal uap Inggris Nemesis bertemu dengan armada
yang terdiri dari 40 hingga 60 kapal perompak berjenis tersebut. Kapal
terbesar digambarkan memiliki panjang 80 kaki dengan awak berjumlah 80
orang, sedangkan yang lain memiliki panjang sekitar 70 kaki, lebar 12
kaki, dengan awak berjumlah 40 orang, dan membawa empat hingga enam
senjata. David Sopher menulis dalam bukunya, "Perangkat kapal bajak
laut milik orang-orang Illanun dan Samal adalah tepian panda yang
digunakan untuk mendayung seperti bireme Mediterania pada zaman dulu,
yang pada kapal bajak laut maupun kapal perang memiliki persyaratan
kecepatan dan kapasitas yang lama untuk membawa pasukan perang dalam
jumlah besar seperti kapal perompak bangsa Moro."' Kapal sejenis
kora-kora mampu mclakukan perjalanan di laut lepas, sesuai perkiraan
kita tentang hubungan kapal semacam itu dengan sangara pada masa Pliny.
Tetapi, kapasitas angkutnya lebih kecil, dan para pemiliknya
kemungkinan lebih tertarik dengan profesi bajak laut warisan dari masa
lalu daripada berkecimpung dalam pelayaran jarak jauh yang dibutuhkan
oleh Sriwijaya.
Kemudian, terdapat orang Bajau yang terkenal, yang merupakan bangsa
pelaut nomaden yang telah tersebar di segala penjuru kepulauan.
Tampaknya sudah sejak lama bangsa Bajau atau Bajo menjalani kehidupan
sebagai salah satu pelaut handal yang keberadaannya tersebar di
Kepulauan Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Bajo memiliki potensi lebih
baik untuk menjadi angkatan laut Kerajaan Sriwijaya. Sejarah mereka
masih samar-samar, tetapi dengan melihat dari jumlah tempat yang
mengenal nama "Bajau", "Bajo", "Baja", "Waju", atau "Bajoo", mereka
tampaknya tersebar di mana-mana. Toponim "Bajo" dapat ditemukan dari
ujung ke ujung Kepulauan Indonesia: dari Kepulauan Mentawai di lepas
pantai barat Pulau Sumatra hingga Papua di sebelah timur sebuah wilayah
yang sangat luas yang berjarak 2.500 mil dari barat ke timur dan 1.000
mil dari utara ke selatan. "Eksistensi mereka ditandai dengan perjalanan
mengarungi lautan. Berlayar di laut lepas merupakan hal biasa bagi
mereka, mereka mengarungi laut seperti layaknya burung-burung laut,"
kata seorang pelancong bernama Raymond Kennedy, bertahun-tahun yang
lalu.
Yang terpenting, asal-usul orang Bajo yang misterius itu sangat erat
kaitannya dengan bangsa pelaut lain, antara lain bangsa Bugis (terkadang
ditulis Bugi atau Buki), orang Mandar, dan orang Makassar. Jika
keberanian mereka di masa sekarang mencerminkan keberanian di masa lalu,
dapat dipastikan mereka memiliki prasyarat untuk menjadi angkatan laut
Kerajaan Sriwijaya ribuan tahun yang lalu.
Orang Bajo disebut-sebut berasal dari Sulawesi, yang merupakan wilayah
yang sama dengan orang Bugis atau Tau-Wugi, dan memiliki jalinan
kekerabatan yang dekat dengan "orang-orang Wugi" tersebut. Pada 1885,
Bastian menulis tentang peran orang Bajo dalam pembentukan wilayah
politik (kerajaan) pertama di Sulawesi: "Tradisi (mereka) mengacu pada
masa-masa awal pseudo sejarah orang Bugis dan Makassar, pada periode
dongeng ketika kelompok penguasa diturunkan dari surga, memerintah
selama tujuh generasi, dan kemudian menghilang. Mungkin karena mereka
telah memasuki periode penetrasi budaya Hindu-Jawa." Dari penjelasan
tersebut, tampaknya mereka berasal dari garis keturunan yang amat kuno
yang mapan pada zaman Sriwijaya.
Meskipun punya hubungan dekat dengan orang-orang Bugis dan Makassar,
kebiasaan-kebiasaan orang Bajo cukup bervariasi di setiap tempat mereka
tinggal. Sebagian besar dari mereka, misalnya orang Mawken, menganggap
perahu kecil sebagai rumah mereka. Mereka dilahirkan, tumbuh, dan
meninggal di atas perahu, mencari penghidupan di muara-muara berair
dangkal di pulau-pulau terpencil tempat tinggal kawanan buaya. Di sana,
mereka menangkap ikan, kura-kura, dan burung merpati. Sebagian yang
lain berkelana hingga ke pantai utara Australia untuk mencari teripang,
yang dihargai tinggi di Cina bagian selatan karena kelezatannya. Orang
Bajo yang lebih kaya tinggal di kapal yang disebut vinta, kapal bercadik
yang memiliki tiga atau empat penyangga. Seperti halnya stink-pot yang
pada masa kini terdapat di marina-marina di seluruh dunia, vinta
"ditujukan hanya sebagai tempat hunian"; sebuah tempat tinggal untuk
keluarga yang tidak pernah meninggalkan sauhnya. "Tak ada angin, tak ada
ombak," kata orang-orang Bajo sambil tersenyum, "kapal itu tetap
bergoyang!"
Beberapa orang Bajo membentuk hubungan baik dengan orang-orang dari
kasta yang lebih tinggi di pulau-pulau besar yang lebih maju, dengan
cara menyediakan ikan-ikan untuk mereka, mengantarkan pesanan dari
pulau ke pulau, dan bertindak sebagai kuli yang membawa barang dagangan.
Orang-orang Bajo yang berada di daratan ini "berburu" di lahan seperti
halnya mereka berburu ikan di laut; mereka menanam padi dan tanaman
lainnya, juga menjaga kebun kelapa, pisang, dan buah-buahan lain.
Beberapa dari mereka membangun rumah panjang untuk keluarga besar
mereka, sedangkan para pelaut nomaden yang sesungguhnya jika mereka
harus tinggal sementara di pantai akan membangun pondok di pantai yang
bentuknya lebih kasar, dan hanya untuk ditempati oleh keluarga inti.
Biasanya, perkampungan orang Bajo dapat ditemukan di pulau-pulau
terpencil atau tanjung-tanjung yang berjarak satu atau dua hari dari
pasar terdekat tempat mereka menjual ikan-ikan mereka. Mereka adalah
orang-orang yang menyukai kedamaian, sering berkelana tanpa membawa
senjata, dan sering diganggu oleh para bajak laut. Mereka tidak memiliki
kemampuan untuk membela diri secara terorganisasi, dan taktor itulah
yang membuat mereka tersebar hingga ke wilayah yang luas. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa "Bangsa Bajo memiliki kecenderungan untuk
tetap berkelompok, dan menyingkir mencari tempat tinggal lain jika
diganggu."
Bahasa dan kebiasaan-kebiasaan orang Bajo, seperti halnya orang Bugis yang merupakan "sepupu" mereka,
mengalami perubahan secara konstan sebagai akibat dari hubungan mereka
dengan bangsa-bangsa lain. Kemauan mereka untuk mengambil dan
menggunakan bahasa-bahasa dari penduduk yang mendiami pulau-pulau
merupakan bagian penting yang harus dicatat. Hal tersebut bahkan
berlaku hingga benda-benda yang penting bagi kehidupan mereka, seperti
istilah-istilah yang berhubungan dengan kapal, yang dianggap sebagian
orang tidak akan mengalami perubahan. Adrian Horridge, yang memahami
permasalahan itu dengan baik pada 1970-an dan 1980-an, menulis:
"sebagai pelaut yang sering berkelana ke sana-kemari, mereka sangat
cepat mengadopsi bahasa lokal dan mulai menggunakan kata-kata dalam
bahasa tersebut untuk menyebut perahu dan peralatan mereka, dan hal itu
sungguh amat mencengangkan."
Sebaliknya, ada pula fakta bahwa orang-orang Bajo, Bugis, Makassar,
Mandar, dan kelompok-kelompok lain yang masih memiliki kekerabatan yang
mendominasi "dunia perahu", masing-masing memiliki istilah yang sangat
berbeda untuk bagian-bagian dari perahu. Perbendaharaan kata khusus itu
terbentuk selama bertahun-tahun; dengan demikian, beragamnya jenis
kapal mcnunjukkan adanya pengembangan secara bertahap selama periode
yang lama, dan pada saat yang sama menunjukkan beragam gaya hidup yang
mengisyaratkan bahwa orang-orang Bajo dan Bugis telah berkelana sampai
ke tempat yang jauh.
Jika orang-orang Bajo telah berlayar hingga ke tempat-tempat yang jauh
dan merupakan nelayan dan pedagang yang terampil, orang Bugis memiliki
kemampuan yang membuat mereka pantas menjadi pemimpin angkatan laut di
wilayah tersebut. Seorang sosiolog pernah menggambarkan struktur sosial
bangsa Bugis sebagai bangsa yang "sentrifugal". Mereka "mengirim
anggota-anggota mereka pergi keluar lembah dan pulau tempat mereka
tinggal, secara temporer atau selamanya, ke dunia luar, dan mereka
bekerja keras mencari kebijaksanaan dan kekayaan, untuk bangsa Bugis,
pergi merantau sama normalnya dengan menikah." Sentrifugalisme ini
sangat kontras dengan masyarakat "sentripetal", seperti orang-orang Bali
atau Toraja, yang anggota masyarakatnya "ditarik ke dalam dan terjerat
dalam jaring kewajiban-kewajiban yang ada dalam masyarakat,
kekerabatan, dan ritual". Hal itu merupakan latar belakang sosial yang
sempurna bagi para perantau dan penjelajah."
Selain keahlian bahari mereka, bangsa Bugis mempunyai reputasi sebagai
pedagang dan juga prajurit yang setia sekaligus kejam. Selama
berabad-abad mereka merupakan pemain utama dalam pengangkutan
rempah-rempah, kayu cendana, mutiara, ambergris, damar, sarang burung
walet yang dapat dimakan, sagu, dan sirip ikan hiu yang dikeringkan,
untuk diperdagangkan di Cina bagian selatan. Ketika Portugis datang
pada awal 1500-an, bangsa Bugis juga telah dikenal sebagai bajak laut
yang menjual hasil rampasan mereka hingga ke Malaka. Bahkan pada
1970-an, sekitar dua ratus kapal yang dikenal sebagai kapal Pinisi milik
bangsa Bugis yang beratnya antara 120-200 ton, masih bisa ditemukan
memenuhi pelabuhan Sunda Kelapa di dekat Jakarta, dan lebih banyak lagi
di Surabaya atau Ujung Pandang. Dan pada 1980-an, armada yang terdiri
dari 800 Pinisi masih membawa kayu dalam rute reguler dari Kalimantan
ke Jawa.
Bangsa Bugis juga merupakan koloni bahari yang sukses, yang berhasil
mendirikan pos-pos perdagangan hampir di setiap pelabuhan di Indonesia.
Pada abad ke-17, mereka bahkan mengambil alih kerajaan Johor, dan dalam
kurun waktu 1820-1830, pada masa‑masa pembentukan Singapura, bangsa
Bugis sudah memiliki tempat tinggal di sana. Pada 1792, seorang
pelancong menyatakan bahwa "Masyarakat Bugis yang datang tiap tahun
untuk berdagang di Sumatra dianggap para penduduk setempat sebagai
teladan dalam cara bersikap, bangsa Melayu meniru gaya berpakaian
mereka, serta membuat pantun-pantun yang memuji pencapaian mereka.
Reputasi mereka tentang keberanian, yang melebihi semua pelaut di
perairan bagian timur, mendapat sanjungan khusus. Mereka juga memperoleh
rasa hormat dari barang-barang mahal yang mereka datangkan, serta
semangat yang mereka tunjukkan ketika membelanjakannya."
Empat puluh lima tahun kemudian, seorang penulis bercerita tentang
bangsa Bugis yang membentuk koloni di India: "... dalam hal kejujuran,
kepribadian, dan perilaku, mereka jauh lebih unggul daripada bangsa
Melayu. ...” Orang asing menganggap bangsa Bugis sebagai bangsa
perompak. Seorang Cina berkata bahwa orang-orang Bugis 'suka berpikir
dan bertindak menuruti kemauan sendiri, dan mencari keuntungan dengan
cara yang tidak benar'. Tanpa bermaksud untuk menentang pendapat itu,
selama saya berkunjung ke India, saya tidak pernah satu kali pun
mendengar adanya pembajakan yang dilakukan oleh pedagang Bugis. Bahkan,
sepanjang pengetahuan saya, ada beberapa peristiwa yang justru
membuktikan bahwa mereka cenderung bersikap sebaliknya."
Peta asal Belanda yang dibuat pada abad ke-18 dan digambar kembali oleh
navigator Bugis, menunjukkan bahwa pelaut-pelaut gagah berani itu telah
berhasil mencapai Kepulauan Maladewa yang bentuknya menggantung dari
India seperti pukat/jaring yang dapat menangkap semua pergerakan yang
tcrjadi antara Asia Timur dan Afrika. Tak ada yang tahu, sudah berapa
lama mereka berada di Maladewa. Tetapi, dengan melihat bentuk kapal
mereka yang lebih mirip dengan kapal Indonesia dibandingkan dengan kapal
India atau Arab, diperkirakan hubungan itu sudah berlangsung sejak
jaman dulu."
Dari semua penjelasan di atas, terlihat bahwa bangsa Bugis, sampai
dengan saat ini, adalah bangsa pelaut yang luar biasa. Pemimpin yang
baik, pelaut ulung, pedagang yang jujur, senang berpetualang, dan
prajurit perang yang baik. Pada masa lampau, mungkin mereka adalah bajak
laut yang kejam dan suka memenggal kepala lawannya. Tetapi jika
sewaktu-waktu seorang penguasa kerajaan Indonesia membutuhkan sebuah
armada yang dikelola pelaut paling hebat yang pernah ada, tak ada yang
melebihi kehebatan pelaut Bajo atau Bugis, atau gabungan dari keduanya.
Jika muncul kebutuhan semacarn itu, bangsa Bugis dan keturunan mereka
akan terpilih menjadi orang-orang yang paling dipercaya. Kelompok
inilah yang paling mampu melayani kerajaan-kerajaan tua di Indonesia
dengan baik, khususnya Sriwijaya. Dan dalam kasus perjalanan ke Afrika,
mereka (bangsa Bugis) adalah orang Indonesia yang paling mungkin
terlibat.
Ada pendapat lain yang mendukung hipotesis ini. Sebuah inskripsi tua
Melayu yang berasal dari Palembang dan Pulau Bangka menceritakan
siddhayatra yang agung, ketika Raja Sriwijaya melakukan pencarian
"kekuatan supernatural". Isinya tidak dapat secara langsung kita pahami,
tetapi bahasa yang digunakan dalam inskripsi itu sangat penting. Fakta
ini ditemukan olch Alexander Adelaar ketika sedang mempelajari
asal-usul bahasa Madagaskar. Dengan memerhatikan kemiripan antara
bahasa Malagasi clan Melayu, ia membandingkan istilah-istilah dalam
bahasa Melayu yang sama dengan bahasa Malagasi, lalu menarik kesimpulan:
"Istilah-istilah dalam inskripsi tersebut menunjukkan bahwa migran
Malagasi pada masa lampau melakukan hubungan dengan Sumatra Selatan.
Lebih jauh lagi, lanjutnya, "Bukti-bukti tersebut memperkuat hipotesis
yang telah disebutkan di atas bahwa beberapa kalimat dalam bahasa yang
tak dikenal (yang menunjukkan kemiripan dengan bahasa-bahasa Barito)
yang tertera pada inskripsi bangsa Melayu di Sumatra Selatan pada abad
ke-7 M adalah sejenis bahasa pra-Malagasi."
Pentingnya bukti-bukti itu akan terkuak jika kita mulai melihat hubungan
antara Madagaskar dan Afrika. Tetapi, selain memperkuat dugaan kaitan
antara Sriwijaya dan Madagaskar, bukti-bukti itu juga memperlihatkan
adanya hubungan antara Sriwijaya dan Sulawesi/Kalimantan. Bahasa-bahasa
Barito yang disebut olch Adelaar (diambil dari nama sungai di Kalimantan
Selatan) yang memiliki kesamaan, tidak saja dengan bahasa Malagasi
modern, tetapi juga dengan bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi Barat
Daya, yang merupakan kampung halaman bangsa Bugis, Bajo, dan Makassar.
Meskipun belum sepenuhnya jelas, semua bukti menunjukkan bahwa nenek
moyang bangsa Bugis dan Bajo merupakan tulang punggung angkatan laut
Kerajaan Sriwijaya, demikian juga keterkaitan bahasa Bugis/Bajo dengan
Madagaskar dan lebih luas lagi dengan Pantai Timur Afrika