Lahirnya
generasi pertama lapisan pemuda berpendidikan modern, sebenarnya
bukanlah produk sosial yang murni berasal dari rakyat Indonesia.
Kehadiran mereka merupakan produk situasi atau didorong oleh perubahan
sikap politik pemerintahan kolonial Belanda terhadap negeri ini. Melalui
kebijakan “Politik Etis” yang diciptakan Belanda setelah menjajah
lebih dari tiga ratus tahun di atas bumi persada, kaum pribumi
khususnya lapisan pemuda, mendapatkan kesempatan untuk masuk ke
lembaga-lembaga pendidikan yang telah didirikan oleh Belanda. Walaupun
dengan batasan lapisan masyarakat, lembaga pendidikan, dan keterbatasan
fasilitas pendidikan yang ada, sehingga banyak pemuda pribumi yang
berhasil lulus baik, atas bantuan pemerintah Belanda, dikirim ke luar
negeri (kebanyakan ke negeri Belanda) untuk melanjutkan studi mereka.
Dalam masa yang penuh tantangan dihadapkan dengan suasana kolonialisme,
realitas politik berupa berlangsungnya proses pembodohan dan
penindasan secara struktural yang dilakukan Belanda, berkat kemajuan
pendidikan yang berhasil mereka raih berimplikasi pada peningkatan
tingkat kesadaran politik,para pelajar dan mahasiswa merasakan sebagai
golongan yang paling beruntung dalam pendidikan sehingga muncul
tanggung jawab untuk mengemansipasi bangsa Indonesia.
Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki
struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908
oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini
merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas
dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908
menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan
bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan
dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.
Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat
keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian
terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh
karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40
cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, pada tahun yang sama dengan berdirinya BU oleh para
mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, dibentuk pula
Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische
Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat
kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas.
Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang
diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi
Perhimpunan Indonesia,tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi
lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan
Indonesia, Sarekat Islam,dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis
demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische
Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxis, dll menambah jumlah haluan
dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu
perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU
karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena
hanya menuju “kemajuan yang selaras” dan /atau terlalu sempit
keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa)
meninggalkan BU Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke
arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu
merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan
pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor
terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908,
dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak
kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan,
dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan
yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan
kolonialisme.
2. Gerakan Mahasiswa 1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam
Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan
Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan
kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik
yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat
berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu.
Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang
dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua,
Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para
nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori
oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Suatu gejala yang tampak pada gerakan mahasiswa dalam pergolakan
politik di masa kolonial hingga menjelang era kemerdekaan adalah
maraknya pertumbuhan kelompok-kelompok studi sebagai wadah artikulatif
di kalangan pelajar dan mahasiswa. Diinspirasi oleh pembentukan
Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan
Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun
seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926,
kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik,
Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan
Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun
1930-an.
Lahirnya pilihan pengorganisasian diri melalui kelompok-kelompok studi
tersebut, dipengaruhi kondisi tertentu dengan beberapa pertimbangan
rasional yang melatari suasana politis saat itu. Pertama, banyak pemuda
yang merasa tidak dapat menyesuaikan diri, bahkan tidak sepaham dan
kecewa dengan organisasi-organisasi politik yang ada. Sebagian besar
pemuda saat itu, misalnya menolak ideologi Komunis (PKI) maka mereka
mencoba bergabung dengan kekuatan organisasi lain seperti Sarekat Islam
(SI) dan Boedi Oetomo. Namun, karena kecewa tidak dapat melakukan
perubahan dari dalam dan melalui program kelompok-kelompok pergerakan
dan organisasi politik tersebut, maka mereka kemudian melakukan
pencarian model gerakan baru yang lebih representatif.
Kedua, kelompok studi dianggap sebagai media alternatif yang paling
memungkinkan bagi kaum terpelajar dan mahasiswa untuk
mengkonsolidasikan potensi kekuatan mereka secara lebih bebas pada masa
itu, dimana kekuasaan kolonialisme sudah mulai represif terhadap
pembentukan organisasi-organisasi massa maupun politik.
Ketiga, karena melalui kelompok studi pergaulan di antara para
mahasiswa tidak dibatasi sekat-sekat kedaerahan, kesukuan,dan keagamaan
yang mungkin memperlemah perjuangan mahasiswa.
Ketika itu, disamping organisasi politik memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lain-lain.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia: generasi 1928. Maka, tantangan zaman yang dihadapi oleh generasi ini adalah menggalang kesatuan pemuda, yang secara tegas dijawab dengan tercetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober1928, dimotori oleh PPPI.
3. Gerakan Mahasiswa 1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk secara terbuka mentransformasikan eksistensi wadah mereka menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Seiring dengan keluarnya Belanda dari tanah air, perjuangan kalangan pelajar dan mahasiswa semakin jelas arahnya pada upaya mempersiapkan lahirnya negara Indonesia di masa pendudukan Jepang. Namun demikian, masih ada perbedaan strategi dalam menghadapi penjajah, yaitu antara kelompok radikal yang anti Jepang dan memilih perjuangan bawah tanah di satu pihak, dan kelompok yang memilih jalur diplomasi namun menunggu peluang tindakan antisipasi politik di pihak lain. Meskipun berbeda kedua strategi tersebut, pada prinsipnya bertujuan sama : Indonesia Merdeka !
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok “bawah tanah” yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa Rengasdengklok itu dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pandangan antar generasi tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memproklamasikan kemerdekaan. Saat itu Jepang telah menyerah kepada sekutu, dan pemuda (yang cenderung militan dan non kompromis) menuntut peluang tersebut segera dimanfaatkan, tetapi generasi tua seperti Soekarno dan Hatta cenderung lebih memperhitungkan situasi secara realistis. Tetapi akhirnya kedua tokoh proklamator itu mengabulkan keinginan pemuda, dan memproklamasikan negara Indonesia yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945.
Ketika itu, disamping organisasi politik memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lain-lain.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia: generasi 1928. Maka, tantangan zaman yang dihadapi oleh generasi ini adalah menggalang kesatuan pemuda, yang secara tegas dijawab dengan tercetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober1928, dimotori oleh PPPI.
3. Gerakan Mahasiswa 1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk secara terbuka mentransformasikan eksistensi wadah mereka menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Seiring dengan keluarnya Belanda dari tanah air, perjuangan kalangan pelajar dan mahasiswa semakin jelas arahnya pada upaya mempersiapkan lahirnya negara Indonesia di masa pendudukan Jepang. Namun demikian, masih ada perbedaan strategi dalam menghadapi penjajah, yaitu antara kelompok radikal yang anti Jepang dan memilih perjuangan bawah tanah di satu pihak, dan kelompok yang memilih jalur diplomasi namun menunggu peluang tindakan antisipasi politik di pihak lain. Meskipun berbeda kedua strategi tersebut, pada prinsipnya bertujuan sama : Indonesia Merdeka !
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok “bawah tanah” yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa Rengasdengklok itu dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pandangan antar generasi tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memproklamasikan kemerdekaan. Saat itu Jepang telah menyerah kepada sekutu, dan pemuda (yang cenderung militan dan non kompromis) menuntut peluang tersebut segera dimanfaatkan, tetapi generasi tua seperti Soekarno dan Hatta cenderung lebih memperhitungkan situasi secara realistis. Tetapi akhirnya kedua tokoh proklamator itu mengabulkan keinginan pemuda, dan memproklamasikan negara Indonesia yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945.